
Sejarah dan Perkembangan Sistem Transportasi Massal di Kota Bandung
Sejak tahun 2006, Kota Bandung sudah mulai merancang sistem transportasi massal yang lebih modern untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di kota tersebut dan sekitarnya. Rencana ini bertujuan untuk menggantikan angkot dan bus kota yang selama ini menjadi moda transportasi utama. Dalam peraturan walikota yang dikeluarkan pada tahun 2006, disebutkan bahwa arah pengembangan transportasi makro akan mencakup penambahan jaringan jalan primer, bus priority, Light Rail Transit (LRT), dan MRT.
Pengembangan sistem transportasi massal ini terus berkembang, dan saat ini fokusnya adalah pada pembangunan LRT Bandung Raya. Proyek ini direncanakan untuk menghubungkan Kota Bandung dengan kota-kota sekitarnya seperti Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Kebutuhan adanya LRT ini muncul karena kondisi lalu lintas yang semakin parah. Keberadaannya akan melengkapi sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang sudah beroperasi sejak awal tahun 2025.
Dinas Perhubungan Jabar menargetkan pembangunan LRT Bandung Raya akan dimulai pada 2027 atau 2028. Dibandingkan hanya membangun dua tol dalam kota seperti Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) dan Nort-South (NS) Link Bandung, kehadiran LRT dinilai lebih solutif. Dua rute prioritas yang akan dibangun adalah jalur Selatan-Utara yaitu Leuwipanjang-Babakan Siliwangi dan jalur Barat-Timur yaitu Leuwipanjang-Stasiun Tegallluar.
Tingkat Kemacetan di Kota Bandung
Kemacetan di Kota Bandung saat ini sudah sangat parah. Berdasarkan data TomTom Traffic Index 2024, waktu tempuh rata-rata per 10 km di Kota Bandung mencapai 32 menit 37 detik, dengan tingkat kemacetan sebesar 48%. Total kerugian waktu mencapai 108 jam per tahun saat jam sibuk. Angka ini menempatkan Kota Bandung sebagai kota paling macet pertama di Indonesia dan ke-12 di dunia.
Meski ada perbaikan dari data terbaru numbeo.com hingga pertengahan tahun 2025, indeks lalulintas Kota Bandung tetap berada di posisi ke-17, jauh di bawah Jakarta yang berada di peringkat keenam kota termacet di dunia. Meskipun demikian, peringkat ini tetap menunjukkan bahwa lalulintas di Kota Bandung masih sangat parah.
Data dari numbeo.com dikumpulkan dari kontribusi pengguna global, menjadikannya sumber informasi yang kredibel tentang kualitas hidup di berbagai kota. Studi oleh AEER menunjukkan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor di Kota Bandung meningkat pesat, yang berpotensi memperburuk kemacetan. Kecepatan lalulintas di Kota Bandung telah turun menjadi 11 km/jam, jauh di bawah batas ideal 20 km/jam.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan dari Kemacetan
Kemacetan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp4,63 triliun per tahun. Selain itu, emisi karbon dari kendaraan bermotor mencapai 1,53 juta ton setiap tahun. Sektor transportasi sendiri menyumbang lebih dari dua pertiga emisi gas buang di Kota Bandung.
Selain itu, layanan angkutan umum belum sepenuhnya mencakup wilayah suburban. Dari total 1.408,8 km jalan, hanya 526,7 km yang dilayani oleh angkutan umum. Beban rata-rata angkutan umum hanya 36,6%, sehingga hanya 23% dari total pangsa transportasi Kota Bandung yang tercakup. Dari segi distribusi moda, hanya 13% dari seluruh perjalanan yang benar-benar tercakup, sedangkan People Near Transit (PNT) mencapai 82%.
Alasan Mengapa LRT Diperlukan
Untuk mengendalikan kinerja lalu lintas jalan dengan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan, Pemkot Bandung menerbitkan dokumen Bandung Better Urban Mobility 2031. Dalam rencana ini, pengembangan transportasi berbasis rel seperti Kereta Api Perkotaan Bandung Raya direncanakan.
Teknologi yang digunakan belum ditentukan, apakah berupa LRT, metro kapsul, atau monorel. Namun, saat ini fokusnya adalah pada pembangunan LRT Bandung Raya. Untuk mendukung proyek ini, pemerintah Jerman dan Indonesia menjalin kerja sama bilateral melalui Green Infrastructure Initiative (GII), yang menyediakan dana sebesar Rp51 triliun untuk proyek LRT di koridor tertentu.
Beberapa alasan pemilihan LRT dibanding BRT atau Metro Capsul antara lain kapasitas penumpang yang lebih besar. Dengan 2-4 gerbong, LRT bisa menampung hingga 600 penumpang. Selain itu, LRT berbasis rel membuat laju lebih bebas tanpa hambatan macet. Dengan adanya kereta cepat Whoosh yang sudah beroperasi sejak 2023, Pemkot Bandung ingin segera mewujudkan LRT Bandung Raya pada 2027.



Posting Komentar