
Pola Perilaku yang Muncul dari Ketidakamanan Emosional
Rasa aman adalah kebutuhan emosional dasar yang sangat penting dalam pertumbuhan seseorang. Namun, bagi sebagian orang, masa kanak-kanak tidak sepenuhnya memberikan rasa perlindungan, kepastian, atau kehangatan. Akibatnya, ketika mereka tumbuh menjadi dewasa, mereka membawa pola-pola tertentu—sering kali halus dan bahkan tidak disadari—untuk melindungi diri dari ancaman yang hanya mereka rasakan secara emosional.
Psikologi menggambarkan fenomena ini sebagai bentuk mekanisme koping yang dibangun dari pengalaman masa kecil. Meskipun mungkin tidak terlihat berbahaya, pola-pola ini dapat memengaruhi hubungan, cara mengambil keputusan, hingga kualitas hidup secara keseluruhan. Berikut adalah tujuh hal halus yang kerap dilakukan oleh orang-orang yang jarang merasa aman saat kecil, menurut perspektif psikologi:
1. Terlalu Sering Membaca Situasi dan Emosi Orang Lain
Ketika rasa aman tidak hadir di masa kecil—misalnya, karena pola pengasuhan yang tidak konsisten atau lingkungan rumah yang tidak stabil—maka anak belajar untuk memindai ekspresi, nada suara, dan perubahan kecil di sekitarnya. Kebiasaan ini sering kali terbawa hingga dewasa. Mereka menjadi ahli dalam membaca ekspresi wajah orang lain, meski sering kali berujung pada overthinking atau salah tafsir.
Pola ini awalnya merupakan strategi bertahan hidup: memahami situasi sebelum situasi berubah menjadi ancaman. Intinya, mereka terlalu waspada terhadap kemungkinan bahaya emosional.
2. Sulit Percaya Bahwa Hubungan Bisa Stabil
Keamanan emosional membuat anak belajar bahwa dunia cukup dapat diprediksi. Tanpa itu, keyakinan berbeda terbentuk: bahwa hubungan mudah berubah dan orang bisa pergi kapan saja. Saat dewasa, mereka cenderung:
- Menghindari keintiman,
- Menjaga jarak emosional,
- Atau justru sangat lengket karena takut ditinggalkan.
Ini berkaitan dengan attachment style yang tidak aman (insecure attachment), seperti avoidant atau anxious.
3. Selalu Merasa Harus Mandiri
Mandiri memang baik, tetapi kemandirian ekstrem justru bisa menjadi benteng. Tumbuh tanpa rasa aman membuat mereka tidak terbiasa mengandalkan orang lain—karena dulu, tidak ada yang selalu hadir saat dibutuhkan. Akibatnya, saat dewasa, mereka sulit meminta pertolongan, merasa tidak nyaman menunjukkan kelemahan, dan menganggap menerima bantuan sebagai tanda kegagalan.
Mereka belajar bahwa hanya diri sendirilah yang bisa diandalkan.
4. Sering Menyalahkan Diri Saat Konflik
Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh ketidakpastian sering menyimpulkan bahwa mereka penyebab masalah. Meski dewasa, pola ini tetap muncul. Dalam konflik, mereka cenderung:
- Menyalahkan diri sendiri,
- Takut menyuarakan keinginan,
- Menekan kebutuhan pribadi demi menjaga hubungan.
Ini bukan karena salah, melainkan karena terbiasa mengorbankan diri demi menjaga “keamanan psikologis”.
5. Terobsesi Mengontrol Hal-Hal Kecil
Kontrol menjadi bentuk kompensasi. Jika masa kecil terasa kacau, mereka mencari hal-hal yang bisa diprediksi saat dewasa. Jadwal ketat, rutinitas, detail kecil—semuanya memberi rasa aman. Namun, kecenderungan ini bisa menimbulkan stres ketika realitas tidak sesuai rencana.
Alih-alih menerima ketidakpastian hidup, mereka justru merasa terancam olehnya.
6. Terlalu Keras Pada Diri Sendiri
Anak yang tumbuh tanpa dukungan emosional cenderung internalisasi bahwa mereka harus “cukup baik” atau “tidak merepotkan.” Ini menjadi beban sampai dewasa. Mereka menetapkan standar tinggi, lalu mengkritik diri saat gagal mencapainya.
Mereka sulit merasa puas pada pencapaian sendiri karena dulu, penghargaan emosional tidak diberikan secara konsisten. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka kejar adalah validasi yang tak pernah mereka dapatkan.
7. Menyembunyikan Rasa Takut dengan Humor atau Ketenangan Buatan
Tidak semua orang yang merasa tidak aman tampak gelisah. Ada yang justru terlihat santai—bahkan lucu. Humor menjadi perisai untuk menyembunyikan kecemasan. Mereka belajar bahwa menunjukkan ketakutan malah membuatnya makin kuat.
Ada pula yang terlihat sangat tenang: tidak tergoncang, tidak menunjukkan perasaan. Padahal, itu numbing, bukan kedewasaan emosional. Ini bentuk perlindungan agar tak merasa kecewa lagi.
Kesimpulan: Rasa Aman Itu Fondasi, Bukan Bonus
Orang yang jarang merasa aman saat kecil bukanlah orang yang kurang kuat; justru, mereka adalah yang bertahan dalam kondisi sulit. Pola yang mereka bentuk adalah bukti bahwa mereka berusaha melindungi diri. Namun, pola masa kecil tidak harus menetap selamanya.
Melalui kesadaran, dukungan emosional, dan terkadang terapi, mereka dapat membangun rasa aman baru dalam diri—rasa aman yang tidak lagi bergantung pada lingkungan, tetapi bertumbuh dari pemahaman, penerimaan, dan kasih terhadap diri sendiri.
Pada akhirnya, perjalanan hidup bukan tentang menyalahkan masa lalu, tetapi memahami dari mana kita berasal dan bagaimana kita ingin melangkah.



Posting Komentar