
Sejarah Jalur Gumitir Jember yang Penuh Dengan Misteri
Jalur Gumitir di Jember, Jawa Timur, memiliki sejarah panjang yang terkait dengan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Awalnya, jalur ini hanya berupa jalan setapak yang digunakan oleh para penunggang kuda atau orang-orang yang berjalan kaki. Namun, seiring waktu, jalur ini menjadi salah satu tempat pembuangan mayat bagi orang-orang yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965.
Pada masa itu, Desa Sidomulyo dan wilayah sekitarnya mengalami kekejaman yang luar biasa. Pal kuning dan jurang-jurang yang kini ditanami kopi menjadi kuburan massal bagi korban pembantaian. Sejarawan asal Jember, RZ Hakim, menjelaskan bahwa jalur darat antara Jember dan Banyuwangi awalnya hanya berupa jalan tanah yang bisa dilalui oleh dokar atau pegon. Jalur ini juga tidak mudah dilewati karena kondisi alam yang sulit.
Sebelum adanya rel kereta api, pengiriman hasil bumi dari ujung timur Jawa harus melewati jalur pantura Banyuwangi-Situbondo. Pada masa Hindia Belanda, rencana pembangunan jalur kereta api yang melintasi Gunung Gumitir mulai direncanakan setelah jalur Kalisat ke Panarukan diresmikan pada tahun 1897. Akhirnya, jalur kereta api yang melewati Gunung Gumitir selesai dibangun pada tahun 1904. Dengan hadirnya jalur kereta api, jalur darat mulai dirancang dan diperluas.
Jalur darat ini dibangun menggunakan material tanah yang dipadatkan dan tanpa penerangan jalan. Desain jalur berkelok lengkap dengan saluran irigasi yang dapat mencapai areal perkebunan. Pada sekitar tahun 1910, jalur tersebut siap digunakan sebagai lalu lintas jalan nasional. Tahun 1920, ada bukti foto perbaikan jalur Gumitir, mungkin akibat longsoran tanah.
Tanah longsor memang sering terjadi di Gunung Gumitir sejak dahulu. Untuk mengembalikan kestabilan tanah, diperlukan pohon-pohon besar yang dapat menjadi naungan dan pondasi alami. Jember dikenal sebagai daerah perkebunan, dan ekspansi perkebunan memengaruhi pembukaan jalur Gumitir. Perusahaan perkebunan swasta seperti NV. Landbouw Maatschappij Soekowono dan LMOD berdiri pada tahun 1856 dan 1859. Ekspansi perkebunan ini secara tidak langsung memengaruhi perkembangan infrastruktur.
Perkebunan-perkebunan Jember berkembang hingga ke wilayah Besuki dan Banyuwangi melalui jalur darat. Ini menyebabkan perkembangan kota-kota sekitar Jember. Setelah Hindia Belanda membangun jalan melewati Gunung Gumitir, jalur ini menjadi akses distribusi hasil pertanian termasuk perkebunan.
Menurut cerita yang didapat, di sepanjang Gunung Gumitir, tepatnya di jurang-jurang yang kini ditanami kopi, dipakai untuk pembuangan mayat orang-orang yang dianggap terafiliasi dengan PKI pada 1965. Pada tahun 2003 sampai 2005, masyarakat ramai menanam kopi di jurang-jurang dan lereng sepanjang Gumitir. Padahal, dahulunya, Gumitir dipenuhi vegetasi pohon yang lebih rindang dari saat ini.
Penanaman kopi rakyat sejak awal membutuhkan penertiban karena akar tanaman kopi tidak mampu menahan tanah. Hal ini memperparah retakan akibat tanah yang terus bergerak. Plengsengan yang banyak dibangun ikut perlahan retak terus menerus. Ketika longsor terjadi, kopi akan membawa banyak tanah, sehingga jalur menjadi tidak rata dan sering rusak, menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan ilmu geologi, Gunung Gumitir rapuh dan tidak sekuat masa lalu. Tak heran jika tanah longsor sering terjadi di jalur Gumitir, Jember. Perbaikan berkali-kali hanya cara sementara untuk membuat jalur bertahan lebih kuat menopang arus lalu lintas kendaraan. Seperti pereservasi yang saat ini tengah dilakukan di Km 233+500 atau yang lebih dikenal Tikungan Mbah Singo. Pemasangan cor atau bored pile menjadi penyangga tanah Gumitir, pengganti akar-akar pohon yang banyak digantikan tanaman kopi.
Posting Komentar