
Kinerja Fiskal Indonesia Tahun 2025: Keseimbangan yang Terlihat, Risiko yang Mengintai
Realisasi APBN 2025 menunjukkan adanya defisit anggaran sebesar Rp 321,6 triliun atau setara dengan 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan defisit pada periode sama tahun 2024 yang hanya mencapai Rp 153,4 triliun. Meski demikian, rasio defisit terhadap PDB masih jauh di bawah ambang batas 3 persen yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Keseimbangan primer yang biasanya negatif mencatatkan surplus tipis sebesar Rp 22 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap menjaga disiplin dalam mengelola belanja terhadap pendapatan. Namun, capaian ini perlu dilihat secara hati-hati karena defisit yang terkendali lebih merupakan hasil dari strategi pembiayaan kreatif dan penempatan kas negara pada perbankan untuk menopang likuiditas ekonomi.
Pemerintah menempatkan dana negara sebesar Rp 200 triliun pada bank umum dengan bunga rendah sebagai instrumen dorongan pertumbuhan hingga pertengahan September 2025. Langkah ini mendekati logika loanable funds theory, di mana injeksi dana pemerintah ke perbankan memperluas ketersediaan likuiditas sehingga mendorong penyaluran kredit.
Namun, tanpa disiplin dan seleksi ketat, hal ini bisa menimbulkan risiko moral hazard. Bank lebih terdorong menyalurkan kredit ke sektor konsumtif atau spekulatif ketimbang produktif. Selain itu, struktur belanja APBN masih berperan dominan sebagai shock absorber sosial. Realisasi belanja perlindungan sosial, subsidi energi, dan kompensasi harga mencapai ratusan triliun rupiah.
Subsidi energi saja menghabiskan Rp176,5 triliun, sementara belanja perlindungan sosial mencapai Rp 420,2 triliun. Dalam perspektif teori crowding-out effect, belanja rutin dan subsidi yang besar bisa mengurangi ruang untuk investasi publik yang produktif, seperti riset, inovasi, atau infrastruktur strategis.
Meskipun defisit terlihat terkendali, ruang fiskal sebenarnya semakin menyempit karena kualitas belanja lebih condong ke konsumsi jangka pendek daripada investasi jangka panjang. Pembiayaan defisit tetap membutuhkan pasar keuangan yang stabil. Minat investor terhadap Surat Berharga Negara (SBN) masih tinggi dengan yield 10 tahun yang menurun ke kisaran 6,28 persen.
Kondisi ini sejalan dengan teori portfolio balance, di mana investor global masih memandang Indonesia sebagai destinasi menarik karena imbal hasil yang relatif tinggi dan risiko yang masih moderat. Namun, ketergantungan pada pembiayaan utang melalui SBN membuat APBN tetap rentan terhadap dinamika global.
Jika tren suku bunga di negara maju kembali naik atau terjadi gejolak geopolitik yang memicu capital outflow, maka pembiayaan defisit bisa menjadi semakin mahal, sekaligus mempersempit ruang fiskal di masa depan. Dengan demikian, kinerja fiskal Indonesia pada 2025 ibarat pedang bermata dua.
Di satu sisi, defisit yang relatif rendah menjadi sinyal disiplin fiskal dan keberhasilan menjaga stabilitas makro. Namun di sisi lain, struktur penerimaan yang melemah, ketergantungan pada komoditas, dan dominasi belanja subsidi menunjukkan bahwa risiko tersembunyi masih mengintai. Secara teoretis, APBN memang masih berfungsi sebagai jangkar stabilitas ekonomi sesuai pandangan Keynesian. Tetapi tanpa penguatan basis penerimaan dan perbaikan kualitas belanja, defisit bisa saja berubah dari sekadar instrumen stabilisasi menjadi jebakan fiskal jangka panjang.
Posting Komentar