
Profil Letnan Jenderal Raden Suprapto, Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Pemberontakan G30S/PKI
Letnan Jenderal Raden Suprapto adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah revolusi Indonesia. Ia dikenang sebagai pahlawan yang gugur dalam peristiwa pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Juni 1920, ia berasal dari keluarga religius yang memiliki latar belakang kebangsawanan. Ayahnya, Raden Pusposeno, dan ibunya, Raden Ajeng Alimah, memberikan dasar pendidikan yang baik kepada putra mereka.
Minat Suprapto terhadap dunia militer mulai berkembang saat ia menempuh pendidikan menengah. Setelah menyelesaikan studi di AMS (selevel SMA), ia memasuki Koninklijk Militaire Akademie (KMA) di Bandung. Namun, pendidikannya terhenti karena balatentara Jepang menduduki Indonesia. Suprapto ditangkap dan ditahan oleh Dai Nippon karena menjadi bagian dari taruna Akademi Militer Belanda.
Setelah berhasil melarikan diri dari penjara, ia kembali ke Purwokerto dan mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo serta bekerja di kantor pendidikan masyarakat desa Banyumas. Di masa ini, ia bertemu dengan Sudirman, yang kelak menjadi Panglima Besar TNI. Selama pendudukan Jepang, Suprapto aktif dalam pelatihan-pelatihan kepemudaan semi militer seperti Keibodan, Seinendan, dan Suisyintai.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Suprapto bergabung dengan gerakan pemuda di Cilacap untuk merebut gedung-gedung dan persenjataan yang dikuasai pasukan Jepang. Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada 5 Oktober 1945, ia pun bergabung di dalamnya. Jabatan pertamanya adalah kepala Bagian II Divisi V TKR Purwokerto dengan pangkat kapten.
Kapten Suprapto ikut mendamping Komandan Divisi V, Kolonel Sudirman, dalam peristiwa Palagan Ambarawa pada Desember 1945. Dengan keberhasilan serangan di Ambarawa, Pak Dirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR. Selanjutnya, Kapten Suprapto diangkat menjadi ajudan Jenderal Sudirman. Ia lalu menikah dengan seorang gadis asal Cilacap, Julie Suparti.
Pada 1948, Suprapto diangkat menjadi kepala bagian II Markas Besar Komando Djawa (MBKD), yang saat itu diketuai Kolonel Abdul Haris Nasution. Ketika Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pecah di Madiun, ia pun turut dalam operasi penumpasan kup tersebut.
Setelah penyerahan kedaulatan RI pada 1949, Suprapto yang sudah berpangkat letnan kolonel menjadi kepala Bagian II di Staf Umum Angkatan Darat Jakarta. Setahun kemudian, ia dipercaya sebagai Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan merangkap jabatan sebagai wakil KSAD.
Pada Juli 1963, pangkatnya naik menjadi mayor jenderal. Seperti umumnya para perwira tinggi AD, ia dengan tegas menolak pembentukan "Angkatan Kelima", yang disponsori oleh PKI.
Pada siang hari tanggal 30 September 1965, Mayjen Suprapto mencabut giginya yang sakit. Pada malam harinya, ia tidak bisa tidur karena rasa sakit masih terasa. Untuk mengisi waktu, malam itu Suprapto melukis dan juga membuat sketsa rencana pembangunan gedung rumah sakit tentara.
Beberapa peleton resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serda Sulaiman dan kelompok sukarelawan PKI telah mempersiapkan diri di Lubang Buaya, Jakarta Timur, untuk menculik Mayjen Suprapto. Pada pukul 03.00 dini hari tanggal 1 Oktober 1965, mereka menuju rumah perwira AD tersebut di Jalan Besuki No 19 Jakarta dengan menggunakan satu unit truk.
Pada pukul 04.30 WIB, pasukan penculik sampai ke rumah tujuan. Gonggongan anjing tetangga membangunkan Mayjen Suprapto yang segera menuju pintu dan menanyakan pasukan yang datang tersebut. Dari luar terdengar jawaban “Cakrabirawa” yang membuat Mayjen Suprapto membukakan pintu. Serda Sulaiman sebagai komandan pasukan penculik menjelaskan bahwa Mayjen Suprapto diminta "menghadap presiden saat itu juga."
Mayjen Suprapto bersedia dan meminta Serda Sulaiman menunggunya untuk berganti baju, karena saat itu ia masih menggunakan piyama dan sarung. Para penculik melarangnya dengan kasar. Beberapa penculik lalu memegangi tangannya dan menaikkannya secara paksa ke dalam truk. Mereka membawa Mayjen Suprapto ke Lubang Buaya.
Akhirnya, pada 4 Oktober 1965, ketujuh jasad ditemukan di Lubang Buaya. Keesokan harinya, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), para perwira yang gugur—termasuk Suprapto—dimakamkan dalam satu upacara kebesaran militer di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.
Posting Komentar