P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

Tantangan Emisi China Hingga 2035

Featured Image

Komitmen China dalam Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengumumkan rencana pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 7 hingga 10 persen dari puncaknya pada tahun 2035. Pengumuman ini disampaikan melalui video dari Beijing dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pemimpin iklim yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, pada Rabu (24/9/2025). Ini menjadi pertama kalinya Tiongkok, sebagai negara dengan emisi terbesar di dunia, menetapkan target pengurangan absolut lintas sektor ekonomi.

Tiongkok juga menargetkan peningkatan kapasitas energi angin dan surya hingga enam kali lipat dibandingkan tingkat 2020 dalam satu dekade mendatang. Selain itu, penggunaan energi non-fosil akan melampaui 30 persen dari total konsumsi pada 2035. Stok hutan akan diperluas lebih dari 24 miliar meter kubik, sementara kendaraan listrik akan menjadi opsi utama dalam penjualan mobil baru pada 2035.

Keselarasan dengan Perjanjian Paris

Xi menyebut langkah Tiongkok sebagai bentuk kontribusi maksimal terhadap Perjanjian Paris 2015, yang menuntut hampir 200 negara untuk menekan laju pemanasan global. Ia menilai negara-negara maju harus lebih dulu mengambil langkah agresif, seraya menyindir Amerika Serikat yang dinilai menjauh dari tujuan kesepakatan tersebut.

"Transformasi hijau dan rendah karbon adalah tren zaman kita. Meskipun beberapa negara bertindak melawan tren ini, komunitas internasional harus tetap berada di jalur yang benar, mempertahankan keyakinan yang teguh, tindakan yang teguh, dan upaya yang tidak berkurang," ujarnya.

Tiongkok telah mencatat pencapaian yang lebih cepat dari rencana awal, seperti mencapai kapasitas energi angin dan surya 1.200 gigawatt enam tahun lebih awal pada 2024. Li Shuo, direktur China Climate Hub di Asia Society Policy Institute, menilai capaian itu hanya dasar, bukan batas akhir. Data menunjukkan bahwa emisi Tiongkok cenderung stabil, dengan proyeksi 2025 lebih rendah dibandingkan 2024, terutama karena meningkatnya produksi listrik tenaga surya.

Tantangan Global dalam Target Iklim

Guterres menekankan pentingnya Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDCs) untuk menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius. Ia mengingatkan bahwa proyeksi kenaikan suhu turun dari 4 derajat pada 2015 menjadi 2,6 derajat jika semua rencana iklim terlaksana penuh.

“Kita benar-benar membutuhkan negara-negara untuk datang [...] dengan rencana aksi iklim yang sepenuhnya selaras dengan 1,5 derajat, yang mencakup seluruh ekonomi mereka dan seluruh emisi gas rumah kaca mereka,” kata Guterres.

Namun, pengurangan emisi Tiongkok masih dipandang belum cukup karena negara itu menyumbang seperempat dari total emisi global. Penurunan 10 persen hanya setara 1,4 miliar ton per tahun, hampir empat kali emisi tahunan Inggris. Para pakar menilai perlu lebih dari 50 persen pengurangan agar sesuai skenario 1,5 derajat. Yao Zhe, penasihat kebijakan Greenpeace East Asia, mengatakan bahwa bahkan bagi mereka yang memiliki ekspektasi rendah, apa yang disampaikan hari itu tetap dianggap kurang. Meski energi terbarukan meningkat, ketergantungan Tiongkok pada batu bara tetap tinggi, dengan produksi listrik berbasis batu bara mencapai puncaknya pada 2024 meski menurun di 2025.

Respons Beragam dari Dunia

Pidato Xi muncul sehari setelah Presiden AS, Donald Trump, menyebut perubahan iklim sebagai penipuan dan mengkritik penggunaan energi terbarukan. AS, yang merupakan penghasil emisi terbesar kedua setelah Tiongkok, tetap menarik diri dari Perjanjian Paris. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara lain, dengan Xi menyerukan kerja sama global untuk mengejar target iklim.

Uni Eropa menegaskan komitmennya dengan target pengurangan emisi 55 persen pada 2030 serta 66-72 persen pada 2035. Presiden UE, Ursula von der Leyen, mengatakan rencana itu menegaskan posisi UE sebagai motor kepemimpinan iklim dunia.

KTT iklim COP30 di Belem, Brasil, yang dipimpin Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, akan menjadi penentu arah komitmen baru. Lula mengingatkan bahwa rencana yang diajukan negara-negara akan menunjukkan apakah mereka benar-benar percaya pada apa yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan atau tidak.

Posting Komentar

Posting Komentar