
Permasalahan di Taman Nasional Tesso Nilo dan Rekomendasi Komnas HAM
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau. Wilayah ini dikenal sebagai habitat penting bagi gajah Sumatera serta berbagai spesies langka lainnya. Namun, di balik kekayaan alamnya, TNTN juga menjadi tempat persengketaan antara masyarakat setempat dengan pihak-pihak terkait.
Seorang perwakilan warga terdampak dari Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz, menyampaikan apresiasi terhadap rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia berharap penyelesaian masalah TNTN dilakukan secara komprehensif, dengan mengedepankan aturan yang telah ada. Menurut Aziz, penyelesaian tidak boleh dilakukan melalui tekanan, pemaksaan, atau intimidasi, karena yang terlibat adalah rakyat biasa, bukan kelompok bersenjata.
Pemakaian aparat militer dalam penyelesaian masalah TNTN dinilai akan memperburuk situasi. Saat ini, beberapa pos militer bersenjata sudah berada di lokasi tersebut, bahkan di area penyitaan lahan masih terdapat camp militer. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tujuan penggunaan aparat militer dalam konteks penyelesaian masalah sipil.
Menurut Aziz, pembentukan TNTN sejak awal sudah melanggar aturan yang berlaku. Salah satunya adalah pelanggaran atas Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 junto PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Selain itu, setelah TNTN dibentuk, terjadi pembiaran dari pihak kehutanan.
Kesalahan masa lalu dan pembiaran tersebut kemudian membuat masyarakat dianggap sebagai perambah. Bahasa seperti "cukong" sengaja digunakan untuk menciptakan simpati publik. Padahal, sejak tahun 1974, areal yang kini disebut TNTN telah menjadi wilayah penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan yang diberi izin HPH oleh kehutanan.
Yang menarik, di dalam irisan TNTN terdapat 153 ribu hektar lahan yang dikuasai secara melanggar hukum oleh 13 perusahaan. Areal ini masuk dalam lansekap TNTN. Pelanggaran hukum ini dilakukan bersama-sama dengan kehutanan, sehingga negara dirugikan sekitar Rp7,4 triliun hanya dari kayu saja. Pertanyaannya, mengapa pelanggaran ini belum diproses hukum? Mengapa masyarakat yang selalu dikejar-kejar?
Penyitaan Lahan dan Kebijakan Relokasi Mandiri
Beberapa waktu lalu, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melakukan penyitaan lahan yang diklaim masuk kawasan TNTN. Penyitaan ini ditandai dengan perobohan tanaman sawit dan penanaman pohon di lokasi pada 10 Juni 2025. Sebanyak 30 ribu jiwa dari enam desa diminta untuk meninggalkan kawasan tersebut dengan batas waktu relokasi hingga 22 Agustus 2025.
Komnas HAM melakukan pemantauan di lokasi pada 6–9 Agustus 2025 dan menemukan beberapa hal penting. Pertama, sebagian besar lahan sawit di Tesso Nilo sebelumnya merupakan bekas izin usaha pemanfaatan hutan (IUHHK-HA) yang berubah menjadi semak belukar. Akses jalan yang dibuka perusahaan sejak awal 2000-an dan praktik hibah lahan oleh ninik mamak mendorong masuknya pendatang membuka kebun sawit.
Kedua, selama belasan tahun masyarakat lokal maupun pendatang tidak hanya bertanam sawit, tetapi juga membangun sekolah, rumah ibadah, pemakaman, hingga menjalani kehidupan seperti desa pada umumnya. Ketiga, Komnas HAM menemukan bahwa Satgas PKH membangun posko dengan personel berseragam dan kendaraan berlogo TNI. Meskipun mereka memasang papan pengumuman relokasi mandiri, tidak ada surat resmi yang diberikan kepada masing-masing warga.
Bahkan, sempat ada larangan sekolah menerima murid baru, meski kemudian dibatalkan setelah protes warga. Keempat, warga menolak relokasi karena telah menetap dan menggantungkan hidup dari kebun sawit produktif, tanpa adanya tawaran kompensasi maupun kepastian lokasi tujuan.
Rekomendasi Komnas HAM
Komnas HAM menilai himbauan relokasi tanpa kejelasan lokasi tujuan dapat menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Hal ini disebut melanggar hak atas tempat tinggal dan kehidupan layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Atas kondisi tersebut, Komnas HAM merekomendasikan empat hal. Pertama, meninjau ulang batas waktu relokasi mandiri hingga adanya perlindungan prosedural yang konkret agar konflik tidak terjadi. Kedua, mendorong perumusan kebijakan penertiban hutan berbasis kajian komprehensif, termasuk hasil kajian Tim Revitalisasi Ekosistem TNTN tahun 2018 dan Konsultasi Nasional Krisis Tenurial 2016.
Ketiga, memberikan perlindungan prosedural bagi masyarakat terdampak, terutama melalui konsultasi yang tulus, pemulihan hukum, serta alternatif tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Keempat, menghindari penggunaan kekuatan berlebihan dan simbol militer di ranah sipil, serta mengedepankan pendekatan kemanusiaan melalui aparat sipil.
Dengan demikian, Komnas HAM menegaskan perlunya solusi komprehensif agar penertiban kawasan hutan tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan Tesso Nilo.
Posting Komentar