P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

LPSK Kolaborasi dengan OJK dan PPATK Awasi Bantuan Korban untuk Cegah Pencucian Uang

Featured Image

Penguatan Pengawasan Dana Bantuan Korban

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menegaskan akan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pengawasan lembaga Dana Bantuan Korban (DBK). Langkah ini diambil setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan dana bantuan korban sebagai sarana pencucian uang atau pemutaran dana ilegal.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin, dalam kegiatan media gathering di Bandung, Jawa Barat, Selasa (4/11/2025) malam. Menurutnya, keterlibatan OJK dan PPATK merupakan upaya penguatan tata kelola keuangan agar DBK berjalan secara transparan, independen, dan akuntabel.

“Kami mengharapkan badan pengelola dana bantuan korban ini bersifat independen, tidak berada di bawah lembaga layanan seperti LPSK maupun aparat penegak hukum. Karena itu, kami menjadikan contoh seperti LPDP dan Indonesian Climate Change Trust Fund,” jelas Wawan.

Ia menekankan bahwa pengawasan bersama oleh OJK dan PPATK penting untuk memastikan agar dana publik yang dikelola tidak menjadi modus baru untuk memutar uang kotor dari para pelaku tindak pidana. Selain itu, LPSK juga mendorong agar DBK tidak hanya diperuntukkan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual, tetapi juga korban kejahatan lain yang menjadi prioritas lembaga.

Prinsip Tata Kelola yang Baik

Menurut Wawan, pengelolaan dana bantuan korban nantinya akan dilakukan secara transparan dan memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). LPSK juga menyoroti pentingnya memperkuat pendanaan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor penegakan hukum untuk menjamin keberlanjutan DBK.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 memberikan dasar hukum bagi negara untuk menanggung restitusi kurang bayar yang tidak mampu dibayarkan oleh pelaku kejahatan. Dengan kebijakan ini, negara memastikan korban tetap memperoleh hak atas pemulihan psikologis, medis, dan sosial.

“Melalui DBK, negara hadir untuk menutup kekosongan restitusi tanpa menghapus kewajiban pelaku. Prinsipnya adalah memastikan keadilan bagi korban,” ujar Wawan.

Sumber Pendanaan DBK

Adapun sumber pembiayaan DBK berasal dari dua jalur utama, yaitu hibah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana hibah dapat bersumber dari masyarakat, filantropi, CSR perusahaan, maupun lembaga lain yang sah dan tidak mengikat. Sedangkan alokasi APBN disalurkan melalui DIPA LPSK.

Meski demikian, Wawan menilai dua sumber pendanaan tersebut belum cukup menjamin keberlanjutan DBK. Oleh karena itu, LPSK mendorong optimalisasi potensi PNBP sebagai dukungan fiskal tambahan untuk pembayaran restitusi korban.

Data Restitusi Korban

Data LPSK menunjukkan, sepanjang Januari–September 2025, nilai restitusi korban yang dihitung mencapai Rp33,05 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp9,28 miliar (28,1%) masuk tuntutan jaksa, Rp7,17 miliar (21,7%) diputus hakim, dan hanya Rp3,22 miliar (9,7%) yang benar-benar dibayar pelaku.

“Kondisi ini menunjukkan sistem restitusi yang bertumpu sepenuhnya pada kemampuan pelaku belum mampu menjamin keadilan bagi korban,” tegas Wawan.

Harapan LPSK

Dengan adanya penguatan kelembagaan dan pengawasan lintas sektor, LPSK berharap mekanisme DBK dapat menjadi model pemulihan korban tindak pidana yang berkelanjutan, berkeadilan, dan bebas dari praktik penyalahgunaan keuangan.

Posting Komentar

Posting Komentar