
Perubahan Iklim dan Kekuatan Anak Muda dalam Membentuk Masa Depan
Perubahan iklim kini diakui sebagai salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ke-21. Tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah, dengan tingkat karbon dioksida (CO₂) mencapai rekor tertinggi dalam dua juta tahun terakhir. Fenomena ini tidak hanya mengubah iklim global, tetapi juga memicu berbagai bencana ekstrem seperti kebakaran hutan, banjir, dan kekeringan yang mengancam kehidupan manusia di seluruh dunia.
Namun, dampak perubahan iklim tidak dirasakan secara merata. Generasi muda dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi konsekuensi dari krisis ini. Mereka bahkan belum memiliki kesempatan untuk memengaruhi kebijakan atau arah pembangunan. Hal ini dikenal sebagai krisis keadilan antar-generasi, di mana keputusan yang diambil saat ini akan menentukan beban hidup generasi mendatang.
Anak-anak dan remaja di Australia, misalnya, kini membentuk sepertiga populasi negara tersebut dan menghadapi risiko lebih besar akibat perubahan iklim. Karena masih dalam tahap perkembangan fisiologis dan kognitif awal, mereka lebih rentan terhadap bencana alam seperti kekeringan, gagal panen, atau banjir besar. PBB memperingatkan bahwa setiap anak di Australia berpotensi mengalami lebih dari empat gelombang panas per tahun, sementara lebih dari dua juta anak tinggal di wilayah yang menghadapi gelombang panas berkepanjangan selama empat hari atau lebih.
Dampak Fisik, Mental, dan Sosial yang Mengkhawatirkan
Sebuah laporan terbaru menemukan bahwa lebih dari satu juta anak dan remaja di Australia mengalami bencana iklim atau cuaca ekstrem setiap tahunnya. Artinya, satu dari enam anak terpapar langsung dampak perubahan iklim. Kelompok yang paling rentan termasuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, wilayah terpencil, serta komunitas Pribumi.
Dampak yang mereka rasakan tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis. Ketakutan, kecemasan, dan rasa frustrasi akibat perubahan iklim kini menjadi beban mental yang besar bagi generasi muda. Bagi mereka yang tinggal di wilayah terdampak, masalah ini semakin kompleks karena disertai tantangan lain seperti gangguan pendidikan, kehilangan tempat tinggal, serta kesulitan ekonomi.
Situasi ini diperparah oleh meningkatnya ketimpangan sosial dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar. Mantan Sekretaris Perbendaharaan Australia, Ken Henry, menyebut kondisi ini sebagai “tragedi antar generasi” akibat kegagalan pemerintah dalam menanggapi ancaman iklim secara serius.
Meski Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers, menegaskan bahwa “keadilan antar generasi adalah prinsip mendasar bagi negara kami,” isu perubahan iklim hampir tak disinggung dalam pemilu federal Mei 2025. Ironisnya, keputusan besar pertama pemerintahan Albanese setelah terpilih kembali justru memperpanjang proyek gas Woodside di pesisir barat Australia hingga tahun 2070, yang berpotensi menambah 87 juta ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya.
Harapan dari Gerakan Anak Muda dan Kebijakan Baru
Meski menghadapi tantangan besar, anak muda Australia tidak tinggal diam. Sejak 2018, ribuan anak dan remaja bergabung dalam aksi protes menuntut keadilan iklim. Gerakan ini dipimpin oleh kelompok seperti Australian Youth Climate Coalition serta didukung oleh berbagai pihak, mulai dari Parents for Climate hingga komunitas Knitting Nannas yang beranggotakan perempuan lansia.
Beberapa aktivis muda juga berkolaborasi dengan anggota parlemen independen seperti Senator David Pocock dan Sophie Scamps untuk memperjuangkan kebijakan perlindungan jangka panjang bagi generasi mendatang. Salah satu inisiatif penting adalah Wellbeing of Future Generations Bill yang diperkenalkan pada Februari 2025. RUU ini bertujuan agar kesejahteraan generasi masa depan menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan pemerintah.
Jika disahkan, undang-undang tersebut akan menciptakan jabatan komisaris independen untuk mengawasi kepentingan jangka panjang Australia dan memastikan kebijakan yang lebih berkelanjutan. Pengalaman Wales, yang telah menerapkan undang-undang perlindungan generasi masa depan selama satu dekade, membuktikan bahwa perubahan nyata bisa terjadi ketika komitmen politik dan kesadaran publik berjalan seiring.
Pelajaran ini relevan bagi banyak negara, termasuk Indonesia, yang kini menghadapi ancaman nyata akibat perubahan iklim. Dari banjir yang semakin sering, kebakaran hutan, hingga kenaikan permukaan laut yang mengancam wilayah pesisir, semua ini menunjukkan bahwa krisis iklim bukan sekadar persoalan lingkungan global, tetapi juga soal keberlanjutan hidup di tingkat lokal.
Tantangan terbesar umat manusia hari ini bukan hanya menekan emisi, melainkan memastikan bahwa generasi mendatang tidak mewarisi bumi yang rusak akibat kelambanan tindakan masa kini. Keadilan iklim adalah janji moral lintas generasi untuk menjaga masa depan anak-anak yang akan mewarisi dunia ini.



Posting Komentar