P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

Kekurangan Kepercayaan Investor dan Ketimpangan Kebijakan Publik

Featured Image

Perspektif Baru Pemerintah Terhadap Investasi Asing

Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyatakan bahwa investor asing tidak akan membangun negara, tetapi hanya menikmati kue pertumbuhan ekonomi Indonesia, mencerminkan perspektif baru pemerintah terhadap arus modal asing. Pernyataan ini menggambarkan pergeseran dalam pandangan pemerintah terhadap ketergantungan struktural pada investasi luar negeri. Hal ini juga menunjukkan adanya kehati-hatian dalam menerima modal asing, dengan fokus pada kedaulatan ekonomi nasional.

Perubahan sikap pemerintah ini tampaknya memengaruhi arus investasi langsung asing (FDI). Data FDI menunjukkan penurunan signifikan, terutama pada tahun 2023 dan kuartal kedua 2025. Laporan UNCTAD mencatat penurunan nilai FDI dari 24 miliar dolar pada 2022 menjadi 21,6 miliar dolar pada 2023. Sementara itu, penurunan pada kuartal kedua 2025 mencapai hampir tujuh persen dibanding tahun sebelumnya, yang merupakan kontraksi terbesar sejak 2020.

Dalam konteks regional, Indonesia justru tertinggal dari Vietnam dan Malaysia yang berhasil menarik investasi baru di sektor manufaktur dan teknologi tinggi. Penurunan ini bukan sekadar akibat gejolak global, tetapi juga cerminan menurunnya kepercayaan terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.

Pergerakan Pasar Modal dan Ketidakseimbangan Ekonomi

Di tengah turunnya arus FDI, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus naik sepanjang tahun 2025. Hingga 31 Oktober 2025, IHSG menembus 8.163 poin, naik hampir sembilan persen secara tahunan. Rasio harga terhadap pendapatan atau P/E ratio berada di kisaran 13 kali, mencerminkan keyakinan investor terhadap laba perusahaan besar di tengah ketidakpastian global.

Kenaikan IHSG terutama didorong oleh saham-saham di sektor energi, tambang, dan perbankan yang menjadi tujuan utama arus modal domestik. Namun, lonjakan IHSG tersebut tidak sejalan dengan gerak ekonomi riil. Pasar keuangan yang menguat di tengah perlambatan FDI menunjukkan ketidakseimbangan yang semakin nyata antara sektor finansial dan sektor produksi.

Arus Modal Asing yang Menurun

Arus modal asing kembali mencatatkan net outflow sepanjang 29 September hingga 2 Oktober 2025, dengan nilai mencapai Rp 9,76 triliun. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam tiga pekan terakhir, dan menandai keluarnya modal asing selama enam minggu beruntun sejak akhir Agustus 2025, dengan total menembus Rp 51,39 triliun.

Penjualan bersih asing di pasar saham mencapai Rp 3,31 triliun dan di pasar Surat Berharga Negara Rp 9,16 triliun. Arus masuk hanya terjadi di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 2,71 triliun, tetapi nilainya belum cukup menahan keluarnya modal dari dua pasar utama.

Kebuntuan Politik dan Ketidakpastian Global

Indikator risiko juga menunjukkan arah serupa. Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun turun ke level 78,87 basis poin dari 83,04 pada pekan sebelumnya. Namun, penurunan CDS ini belum berhasil menarik kembali arus modal karena ketidakpastian global masih tinggi dan kepercayaan terhadap arah kebijakan domestik belum pulih.

Kebuntuan politik di Amerika Serikat yang memicu government shutdown membuat dolar AS tetap kuat sebagai aset aman. Sementara tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, justru terus berlanjut. Dalam situasi seperti ini, investor asing memilih menahan diri dan menjaga posisi aman di luar pasar Indonesia.

Distorsi dalam Mesin Pertumbuhan

Hubungan terbalik antara kenaikan IHSG dan penurunan FDI menunjukkan adanya distorsi dalam mesin pertumbuhan Indonesia. Sektor keuangan terus mencetak keuntungan, tetapi investasi produktif yang seharusnya menjadi dasar ekonomi jangka panjang justru melambat.

Dalam jangka pendek, pasar modal memang dapat menopang persepsi stabilitas, terutama dengan dukungan dana domestik dan kebijakan moneter yang longgar. Namun, tanpa masuknya investasi asing langsung yang membawa teknologi, inovasi, dan perluasan kapasitas industri, ekonomi Indonesia berisiko akan tumbuh semu.

Kegagalan Konsistensi Kebijakan

Salah satu penyebab utama tertahannya FDI adalah jarak antara ambisi politik dan kesiapan institusi. Pemerintah ingin menampilkan kemandirian ekonomi dengan memperkuat BUMN dan mendorong hilirisasi sumber daya alam. Namun, pelaksanaannya sering tidak diikuti dengan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan.

Perubahan mendadak dalam izin ekspor, revisi tata niaga mineral, dan lemahnya koordinasi antarlembaga menimbulkan ketidakpastian yang tinggi bagi investor secara jangka panjang. Investor asing tidak takut terhadap nasionalisme ekonomi. Mereka hanya takut terhadap ketidakteraturan dan ketidakpastian.

Tantangan untuk Membangun Kredibilitas

Pertumbuhan finansial yang tidak diikuti peningkatan kesejahteraan nyata memperlihatkan ketimpangan dalam arah kebijakan. Fokus pada stabilitas makro sering mengabaikan kualitas distribusi ekonomi. Kenaikan harga saham menguntungkan investor besar, tetapi tidak memberi pengaruh pada sektor informal yang menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional.

Ekonomi finansial akhirnya berjalan sendiri, tumbuh di atas masyarakat yang tidak ikut tumbuh bersamanya. Kebijakan publik yang terlalu berorientasi pada angka makro sering gagal membaca kenyataan sosial. Ketika pemerintah berbicara tentang stabilitas, masyarakat berbicara tentang harga beras dan biaya hidup.

Solusi untuk Keadilan Sosial

Solusi terhadap ketimpangan antara sektor finansial dan sektor riil tidak cukup dengan mendorong investasi baru. Yang dibutuhkan adalah tata kelola ekonomi yang berkeadilan sosial. Negara harus memperluas kapasitas fiskal untuk intervensi produktif yang tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi juga memberi ruang bagi pelaku usaha kecil dan ekonomi komunitas.

Model seperti Public Investment for Social Innovation atau investasi publik untuk inovasi sosial dapat menjadi solusi. Reformasi tata kelola juga menjadi keharusan. Transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat agar kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi dapat pulih. Setiap proyek strategis nasional perlu dilengkapi dengan penilaian dampak sosial yang terbuka. Dengan cara ini, kebijakan ekonomi tidak hanya diukur dari efisiensi, tetapi juga dari manfaatnya bagi masyarakat luas.

Posting Komentar

Posting Komentar