Contoh Studi Kasus PPG 2025 Terkait Penilaian
Pendidikan Profesi Guru (PPG) tahun 2025 menuntut peserta untuk membuat studi kasus dengan minimal 350 kata dan maksimal 600 kata. Salah satu topik yang bisa dipilih adalah masalah penilaian. Dalam konteks ini, penilaian sering kali menghadapi tantangan seperti instrumen yang kurang bervariasi, fokus hanya pada hasil akhir, atau kesulitan guru dalam menilai keterampilan dan sikap siswa secara objektif.
Studi kasus PPG 2025 harus berdasarkan pengalaman langsung guru selama mengajar di kelas. Ada empat pertanyaan utama yang harus dijawab:
- Bagaimana bentuk penilaian yang dilakukan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran?
- Bagaimana merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?
- Bagaimana respons peserta didik terhadap bentuk penilaian yang dilakukan?
- Apa pengalaman berharga yang bisa dipetik?
Berikut contoh studi kasus penilaian PPG 2025 yang dapat menjadi referensi bagi guru SD, SMP, dan SMA.
A. Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025
1. Deskripsikan bentuk penilaian yang Bapak/Ibu lakukan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.
Sebagai guru kelas 2 SD, saya melakukan penilaian mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi "Menuliskan Kalimat Sederhana dari Gambar". Penilaian dilakukan melalui lembar kerja yang meminta siswa menulis kalimat berdasarkan gambar aktivitas sehari-hari. Bentuk penilaian ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yaitu membantu siswa menyusun kalimat sederhana secara runtut dan bermakna.
Saya juga menambahkan penilaian lisan sebagai pelengkap, terutama bagi siswa yang kesulitan menulis. Penilaian dilakukan secara individual dan dikaitkan dengan konteks yang akrab bagi siswa, seperti kegiatan di rumah atau sekolah.
2. Bagaimana merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?
Dalam merancang penilaian, saya terlebih dahulu menurunkan indikator dari tujuan pembelajaran, yaitu siswa mampu menyusun kalimat sederhana berdasarkan gambar. Karena siswa kelas 2 masih berada dalam tahap awal perkembangan literasi, saya memilih gambar yang jelas dan familier sebagai stimulus.
Penilaian disusun dengan tingkat kesulitan bertahap, mulai dari menyebutkan benda dalam gambar, menuliskan kata, hingga menyusun kalimat. Saya juga mempertimbangkan keterbatasan beberapa siswa dalam menulis, sehingga menyediakan alternatif penilaian melalui diskusi atau wawancara lisan. Rubrik penilaian saya buat secara sederhana, mencakup aspek keterbacaan tulisan, struktur kalimat, dan kesesuaian isi dengan gambar.
3. Bagaimana respons peserta didik terhadap bentuk penilaian yang dilakukan?
Respons peserta didik terhadap penilaian cukup beragam. Siswa yang memiliki kemampuan menulis baik terlihat antusias dan mampu menyelesaikan tugas dengan mandiri. Namun, beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menuliskan kalimat meskipun sudah memahami gambar.
Mereka tampak ragu-ragu dan sering bertanya mengenai ejaan atau urutan kata. Saat diberikan kesempatan menjelaskan secara lisan, mereka justru mampu menjawab dengan percaya diri. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa cukup baik, tetapi keterampilan menulis mereka masih terbatas dan perlu pendekatan yang sesuai.
4. Apa pengalaman berharga yang bisa dipetik?
Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa penilaian di kelas rendah tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga harus mempertimbangkan proses dan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan perkembangan siswa. Penilaian tertulis tidak selalu mencerminkan pemahaman siswa secara utuh, terutama jika keterampilan menulis mereka belum berkembang optimal.
Saya belajar pentingnya menyediakan bentuk penilaian yang bervariasi, seperti penilaian lisan, praktik langsung, dan observasi, untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kemampuan siswa. Selain itu, rubrik yang jelas dan terstruktur sangat membantu dalam memberikan penilaian yang objektif. Ke depan, saya akan lebih banyak menerapkan penilaian otentik yang menempatkan siswa dalam situasi nyata, serta memperkuat asesmen formatif sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berkelanjutan.
B. Contoh Studi Kasus Penilaian PPG 2025
1. Deskripsikan bentuk penilaian yang Bapak/Ibu lakukan sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.
Sebagai guru IPA kelas 2 SMP, saya biasa menggunakan ujian tertulis sebagai instrumen utama untuk mengukur pemahaman siswa. Bentuk soal yang digunakan umumnya pilihan ganda dan uraian singkat. Tujuan awalnya adalah untuk melihat sejauh mana siswa memahami materi, misalnya tentang sistem pernapasan manusia.
Namun, dalam praktiknya, penilaian ini cenderung hanya menilai hasil akhir dan tidak sepenuhnya menggambarkan proses belajar siswa. Beberapa siswa yang rajin bertanya, aktif diskusi, dan berusaha keras selama pembelajaran ternyata memperoleh nilai rendah saat ujian, sehingga hasil penilaian tidak sepenuhnya adil.
2. Bagaimana merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kondisi siswa?
Untuk merancang penilaian agar sesuai dengan tujuan pembelajaran, saya mulai menyadari pentingnya memvariasikan instrumen. Saya mencoba menggabungkan penilaian tertulis dengan penilaian proyek sederhana, seperti membuat model paru-paru dari botol plastik bekas. Selain itu, saya menambahkan penilaian sikap melalui observasi saat siswa bekerja dalam kelompok.
Dengan cara ini, saya tidak hanya menilai pengetahuan, tetapi juga keterampilan (psikomotor) dan sikap ilmiah (afektif) siswa. Saya juga menyesuaikan instrumen dengan kondisi kelas yang heterogen, misalnya ada siswa yang lebih terampil praktik daripada menulis, sehingga mereka tetap bisa menunjukkan kompetensinya.
3. Bagaimana respons peserta didik terhadap bentuk penilaian yang dilakukan?
Respons siswa terhadap perubahan bentuk penilaian cukup positif. Mereka merasa lebih termotivasi karena tidak hanya dinilai dari ujian akhir, tetapi juga dari aktivitas sehari-hari. Beberapa siswa yang sebelumnya sering gugup saat ujian merasa lebih percaya diri karena dapat menunjukkan kemampuan melalui proyek dan presentasi kelompok. Siswa juga menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran karena tahu bahwa sikap dan partisipasi mereka juga dinilai.
4. Apa pengalaman berharga yang bisa dipetik?
Pengalaman berharga yang saya petik adalah bahwa penilaian yang beragam lebih adil dalam menggambarkan kemampuan siswa. Dengan mengombinasikan berbagai teknik penilaian, saya bisa melihat potensi siswa dari berbagai aspek, bukan hanya kognitif. Hal ini sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri siswa yang mungkin tidak unggul dalam ujian tertulis tetapi sangat baik dalam praktik maupun kerja sama kelompok. Saya belajar bahwa penilaian seharusnya mendukung pembelajaran, bukan hanya menjadi alat seleksi.
Posting Komentar