P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

Pertanian Kota Jagakarsa: Kolaborasi dan Edukasi

Featured Image

Kehidupan Petani Urban yang Berfokus pada Kesehatan Tanah

Abdul Latif, seorang petani urban di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menunjukkan bahwa pertanian kota bukan hanya tentang hasil panen. Ia menjalani berbagai metode tanam seperti hidroponik dan organik, dengan tujuan mengembangkan masa depan yang berkelanjutan. Dari awalnya mencari penghasilan tambahan hingga menjadi bagian dari komunitas pangan lokal, perjalanan Latif memberikan wawasan penting tentang pentingnya menjaga kesehatan tanah.

Awal Perjalanan Pertanian

Latif memulai kegiatannya sejak tahun 2020, saat bisnis pakaiannya terdampak pandemi. Ia memilih metode hidroponik, yang menggunakan air sebagai media tanam untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Namun, ia menyadari bahwa pendekatan ini hanya fokus pada produksi, tanpa memperhatikan kondisi tanah.

Pengalaman ini muncul ketika ia mengajar anak-anak PAUD dalam kelas berkebun. Ia sering mengatakan kepada murid-muridnya bahwa bertani adalah bentuk kasih sayang pada Bumi. Meski begitu, ia merasa belum sepenuhnya berkontribusi pada tujuan tersebut.

Beralih ke Metode Organik

Dengan lahan seluas 17 x 5 meter, Latif memutuskan beralih ke metode organik. Pemilihan ini didasarkan pada penelitian IPB University (2025) yang menyebutkan bahwa 82% tanah di Indonesia memiliki produktivitas rendah. Ia percaya bahwa menjaga kesuburan tanah adalah cara untuk membantu alam dalam menjaga keseimbangan.

"Alam bisa berjalan sendiri tanpa manusia, tapi manusia justru mengubah semua yang sudah ada. Ketika sesuatu terjadi pada alam, itu karena kita. Maka dari itu, kita harus melakukan hal-hal kecil untuk mengembalikan keseimbangan," ujarnya.

Tantangan di Lahan Sempit

Sebagai petani urban organik, Latif menghadapi tantangan utama yaitu lahan yang terbatas. Proses produksi juga lebih lambat dibanding hidroponik, sehingga hasil panen tidak sebanyak metode konvensional. Untuk mengatasinya, ia melakukan rotasi tanaman agar bisa terus berproduksi.

Beberapa jenis tanaman yang ditanam antara lain kangkung (23-25 hari), sawi (40-70 hari), jagung (60-65 hari), dan timun (35 hari). Dengan strategi ini, lahan kecilnya tetap produktif, dan biaya operasional bisa terus berjalan.

Selain itu, ia juga mengurangi penggunaan nutrisi buatan. Menurutnya, meskipun prosesnya lebih lama, kembali ke alam justru membuat biaya produksi lebih ringan tanpa mengurangi kualitas.

Kolektif Pangan yang Menguatkan

Di tengah keterbatasan, hadir kolektif pangan Selarasa yang berbasis di Jagakarsa. Lewat inisiatif Majelis Sayur, Selarasa memberikan ruang bagi petani lokal untuk berbagi keresahan dan ilmu.

"Tujuannya adalah agar teman-teman petani punya ruang untuk menyampaikan keluh kesah mereka ke sesama petani. Secara ruang, cuaca, iklim, pasti ada tantangan yang sama, tapi tak sepenuhnya sama," kata Juli, salah satu inisiator Selarasa.

Hubungan antara Selarasa dan Latif berkembang, tidak hanya sekadar saling bantu, tapi menjadi proses saling belajar. Juli mengakui bahwa pihaknya justru banyak mendapat wawasan baru dari para petani. "Awalnya kami pikir Selarasa tahu banyak soal pangan, tapi justru kami yang belajar dari teman-teman petani di Jagakarsa," katanya.

0

Posting Komentar