
Pengalaman Mahasiswa Kurang Mampu yang Berjuang untuk Menyelesaikan Pendidikan
Banyak orang menganggap bahwa kehidupan itu adil. Namun, kenyataannya tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Banyak dari kita harus berjuang keras hanya untuk bisa melanjutkan pendidikan dan menjalani hidup sehari-hari. Saya adalah salah satu dari mereka yang dulu merasakan betapa sulitnya menjadi mahasiswa dengan kondisi ekonomi yang tidak cukup.
Saat kuliah, saya tinggal di lingkungan yang sangat sederhana. Keluarga saya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan biaya pendidikan. Tapi, dengan tekad yang kuat dan dukungan dari orang tua, saya berhasil menyelesaikan studi sarjana. Prosesnya tidak mudah. Selama masa perkuliahan, saya harus bekerja paruh waktu untuk bisa membiayai kebutuhan sendiri.
Salah satu pekerjaan pertama saya adalah sebagai penyiar radio. Pekerjaan ini membutuhkan jam kerja yang panjang, baik siang maupun malam hari. Tidak hanya itu, saya juga bekerja sebagai pengajar les di suatu lembaga bimbingan belajar. Tugas ini membutuhkan tanggung jawab besar karena saya bertanggung jawab terhadap siswa-siswa yang masih duduk di bangku sekolah.
Kuliah sambil bekerja bukanlah hal yang langka pada masa itu. Banyak teman-teman lain juga melakukan hal serupa. Namun, konsep dan cara mereka dalam mengelola uang berbeda. Saya selalu berpikir untuk menyisihkan sedikit uang dari honor kerja saya agar bisa digunakan untuk kebutuhan jangka panjang.
Honor dari radio, meski lumayan tinggi, saya sisihkan untuk membayar SPP di awal semester. Sementara honor dari mengajar les, saya gunakan untuk kebutuhan harian seperti makan dan biaya cetak tugas. Saya tidak pernah merasa terbebani dengan situasi ini. Bahkan, saya tidak memiliki rencana pasti tentang masa depan, karena yang saya tahu adalah bahwa uang yang saya hasilkan dari kerja part-time bisa digunakan untuk kebutuhan sendiri.
Saya memberi tahu orang tua bahwa saya tidak lagi membutuhkan uang dari mereka, baik untuk SPP maupun kebutuhan makan. Saya bersikeras untuk menanggung segala sesuatu sendiri, meskipun terasa lelah. Ketika adik saya juga mulai kuliah, orang tua tidak lagi memberi uang tambahan karena penghasilan saya dari radio dan bimbingan belajar sudah cukup untuk membiayai kebutuhan kami berdua.
Menabung adalah pilihan. Bukan soal kemampuan, tapi bagaimana seseorang bisa menahan diri untuk tidak terlalu boros. Saya melihat banyak teman yang mendapatkan honor lebih besar, tetapi justru meminta uang kepada orang tua untuk membayar SPP dan makan bulanan. Uang itu digunakan untuk hal-hal yang tidak penting, seperti ngopi atau nongkrong tanpa batas waktu.
Mereka bekerja seperti saya, tetapi setelah bekerja, mereka langsung pergi ke warung kopi atau kafe. Uang yang seharusnya disisihkan untuk tabungan langsung habis begitu saja. Saya selalu menolak ajakan mereka, dengan alasan "Tidak dulu," namun mereka merespons dengan ucapan "Nggak gaul kau."
Saya tidak masalah jika dianggap kurang pergaulan. Lebih baik pulang ke kosan dan memasak sendiri daripada menghabiskan uang untuk makan enak yang sebenarnya bisa dihemat. Dengan demikian, tabungan bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih penting, seperti pembayaran SPP dan kebutuhan adik saya.
Susah memang, tetapi jika dijalani dengan benar, akan terasa lebih ringan. Pengalaman seperti ini masih ada di masa sekarang ini. Meskipun tidak semua orang ingin membagikannya, ada banyak mahasiswa yang tetap berjuang dengan cara mereka sendiri.
Beberapa dari mereka bahkan memamerkan kehidupan mewah di media sosial, padahal di balik itu, mereka mungkin sedang mengalami kesulitan finansial. Menabung bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk bagi mahasiswa yang ingin meraih impian tanpa bergantung pada orang lain.
Inilah wajah nyata dari sebuah perjuangan. Bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang keteguhan hati dan kesadaran akan nilai-nilai kehidupan.
Posting Komentar