P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

Mata Peka vs Piksel: Mengabadikan Kehidupan "Low Res" Rakyat Kecil dengan Seni Gawai

Featured Image

Hobi Memotret dengan HP Lama dan Kreativitas yang Tak Terbatas

Saya termasuk orang yang tidak bisa lepas dari hobi memotret. Bukan sekadar mengambil gambar, tapi benar-benar gemar mengabadikan momen apa saja yang melintas di depan mata. Sejak dulu hingga kini, objek favorit saya saat hunting foto selalu sama: momen-momen sederhana, terutama aktivitas masyarakat kecil.

Ada kejujuran dan kehidupan nyata yang terpancar dari senyum pedagang kaki lima, raut lelah kuli panggul, atau tawa riang anak-anak di gang sempit. Untuk melakukan semua itu, saya tidak pernah menggunakan kamera canggih atau DSLR mahal. Hingga detik ini, saya masih setia dengan satu perangkat yang sudah menemani sejak akhir tahun 2018, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.

Perangkat itu adalah sebuah handphone, yaitu Vivo V15, yang kameranya memiliki mekanisme unik: bisa naik turun (pop-up camera). Foto pakai HP ini sudah menjadi kebiasaan dan kenyamanan yang sulit saya tinggalkan. Tentu saja, saya sadar betul bahwa di era sekarang, Vivo V15 saya sudah sangat "ketinggalan zaman". Fitur dan kualitasnya tidak bisa dibandingkan dengan HP baru yang memiliki resolusi megapixel puluhan kali lipat.

Hasil jepretannya memang tidak setajam atau sejernih kamera kekinian, alias termasuk dalam kategori "Low Res" (resolusi rendah). Namun, bagi saya, hasil itu sudah lebih dari cukup untuk sekadar menciptakan dan mengoleksi arsip momen. Kenyamanan memakai HP lama ini bukan hanya soal kebiasaan, tetapi juga soal nostalgia. Ada ikatan emosional yang terjalin antara saya dan gawai setia ini.

Mungkin saya memang tipe orang yang suka mengoleksi dan merawat barang lama. Handphone ini ibarat teman lama yang sudah tahu cara kerja dan kelemahan saya. Ia tahu cara saya membidik dan momen apa yang saya kejar. Kehadirannya tidak membuat canggung, terutama saat saya memotret aktivitas masyarakat kecil yang mungkin merasa terintimidasi oleh kamera profesional.

Keterbatasan teknis dari kamera lama ini justru menjadi tantangan tersendiri. Semakin kabur atau kurang jelas hasilnya, semakin kuat dorongan saya untuk mengolahnya agar momen itu tetap tersampaikan dengan baik. Inilah yang kemudian memunculkan bahasan, yaitu bagaimana saya menyiasati kekurangan piksel dengan kreativitas sederhana.

Menyiasati Piksel dengan Seni 'Soda'

Seperti yang sudah saya jelaskan, hasil foto pakai HP jadul ini memang tidak bisa menandingi ketajaman HP baru. Gambar seringkali terlihat kurang detail atau warnanya agak pudar. Daripada menyerah, saya justru menemukan cara unik untuk menguliknya tanpa perlu menginstal aplikasi edit foto khusus yang berat dan rumit. Saya memanfaatkan semua yang sudah ada di dalam sistem handphone itu sendiri.

Intinya, saya mengandalkan aplikasi pengaturan dan editing bawaan dari galeri foto HP. Saya jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, menggunakan aplikasi edit foto pihak ketiga. Prosesnya sangat sederhana dan cepat, cocok untuk sekadar membuat arsip foto agar terlihat lebih hidup. Cara kerjanya dimulai dengan membuka galeri foto, memilih foto yang akan diedit, lalu mengklik fitur "Edit".

Di dalam menu edit bawaan tersebut, terdapat banyak opsi dan filter. Saya biasanya mulai dengan menu "Filter" untuk melihat gaya ketajaman gambar yang tersedia. Ada mode bergaya Jepang, mode malam, atau mode lainnya. Namun, bagian yang paling sering saya sentuh adalah pengaturan dasar seperti kecerahan, kontras, dan saturasi. Ini adalah kunci untuk melawan kesan buram atau gelap dari hasil jepretan low-res.

Setelah mencoba-coba filter bawaan, langkah berikutnya yang paling saya suka adalah mengubah gambar asli ke versi lain yang tersedia di sana, yang saya sebut sebagai Seni Soda. Pilihan seperti "Terang," "Segar," "Mint," "Menyegarkan," "Hitam Putih," atau bahkan "Soda" (jika tersedia) seringkali memberi hasil instan yang memuaskan.

Misalnya, saya klik opsi "Soda" atau "Segar", lalu tiba-tiba gambar yang awalnya terlihat kusam atau kurang jelas bisa menjadi lebih cerah dan hidup. Proses pengulikan sederhana ini benar-benar efektif. Foto yang tadinya gelap bisa menjadi terang, atau sebaliknya. Meskipun tetap tidak bisa menghasilkan ketajaman setara kamera modern, setidaknya foto arsip momen tersebut menjadi lebih enak dilihat dan layak untuk disimpan.

Ini membuktikan bahwa keterbatasan alat bisa memicu kreativitas yang sederhana namun efektif.

Filosofi Mata Peka

Perjalanan saya dalam memotret aktivitas masyarakat kecil dengan gawai setia dan teknik edit "Seni Soda" ini mengajarkan satu filosofi penting: kualitas sebuah foto tidak selalu diukur dari jumlah pikselnya. Inilah esensi dari judul "Mata Peka vs Piksel."

"Piksel" adalah nilai teknis; ia mudah diukur, dibeli, dan dibandingkan. "Mata Peka" adalah nilai rasa; ia tidak bisa dibeli dan hanya bisa diasah melalui empati dan pengalaman. Seorang fotografer dengan mata peka akan tahu kapan dan di mana harus menjepret, terlepas dari apa pun alat yang dipegangnya.

Momen yang tertangkap pada waktu yang tepat, dengan emosi yang jujur, akan selalu lebih berharga daripada foto yang sangat tajam tetapi tanpa jiwa. Masyarakat kecil adalah subjek yang paling jujur. Mereka tidak berpose, mereka hanya hidup. Tugas saya adalah mengabadikan kejujuran itu. Jika saya memakai kamera yang terlalu mencolok, spontanitas momen itu akan hilang.

HP lama saya, yang kini saya juluki Gawai Setia, membuat interaksi menjadi lebih santai dan momen yang saya tangkap terasa lebih otentik. Keterbatasan low-res pada HP ini bahkan membantu saya fokus pada esensi. Karena detail teknisnya kurang, penonton dipaksa untuk melihat cerita dan emosi yang disampaikan, bukan sekadar ketajaman pori-pori kulit subjek. Foto menjadi pemicu cerita, bukan sekadar pajangan teknis.

Inilah mengapa saya masih nyaman dengan HP ini. Ia tidak hanya menyimpan foto, tapi juga menyimpan banyak kenangan, baik kenangan saat membelinya di akhir tahun 2018 maupun kenangan dari setiap momen berharga yang telah berhasil diabadikannya. Kenyamanan ini sudah melebihi kebutuhan akan spesifikasi yang serba baru.

Kesimpulan

Pada akhirnya, proyek fotografi sederhana saya dengan gawai lama dan teknik edit bawaan menunjukkan bahwa passion sejati tidak dibatasi oleh teknologi. Foto pakai HP Vivo V15 yang low-res telah membuktikan bahwa yang terpenting dalam mengarsip kehidupan dan aktivitas masyarakat kecil adalah Mata Peka yang mampu menangkap momen yang berharga, bukan Piksel tinggi yang hanya menghasilkan ketajaman tanpa arti.

Melalui Seni Soda sederhana di galeri HP, setiap momen yang saya abadikan tetap utuh, cerah, dan penuh nostalgia.

Posting Komentar

Posting Komentar