
Pengalaman Claudia dalam Menghadapi Kanker Payudara
Di usia 26 tahun, Claudia, seorang makeup artist asal Surabaya, mengalami kejadian yang tidak pernah ia bayangkan. Ia menemukan benjolan kecil di payudaranya yang terasa keras. Awalnya ia tidak merasa khawatir karena ukurannya kecil. Namun, benjolan tersebut berkembang dengan cepat hingga akhirnya ia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter di Singapura.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Claudia menderita kanker payudara stadium IV. Penyakit ini telah menyebar ke paru-paru, kelenjar getah bening, dan tulang. Meskipun ia sudah membaca berbagai informasi sebelumnya, ia tetap kaget ketika mengetahui bahwa sel kankernya telah menyebar ke organ lain. Hal ini menjadi pengalaman yang sangat mengejutkan baginya.
Setelah menjalani tes genetik, dokter menemukan bahwa Claudia memiliki mutasi gen BRCA1, yaitu gen yang meningkatkan risiko kanker payudara dan ovarium. Padahal, ia menjalani gaya hidup sehat: tidak merokok, tidak minum alkohol, jarang mengonsumsi makanan cepat saji, dan rutin berolahraga. Namun, hal itu tidak membuatnya aman dari penyakit yang menyerang tubuhnya.
Perjuangan Melawan Kanker
Claudia menjalani kemoterapi dan operasi pengangkatan payudara kiri (mastektomi). Namun, kondisinya sempat memburuk setelah menjalani pengobatan di China. Ia mengalami kelumpuhan di tangan kiri akibat sel kanker yang menekan saraf tulang belakang, serta penyebaran baru yang muncul di payudara kanan.
Ia mengakui bahwa menjalani pengobatan kanker adalah perjuangan berat. Tubuhnya melemah, efek samping kemoterapi menyebabkan perubahan fisik, dan mentalnya juga diuji. Namun, di tengah rasa sakit tersebut, ia belajar untuk tetap optimis dan tidak kehilangan harapan.
Rasa Takut Kehilangan Jati Diri
Setelah menjalani mastektomi, Claudia merasa kehilangan sebagian dari dirinya. “Payudara adalah salah satu aset perempuan. Jadi ketika itu diangkat dan saat itu aku belum menikah, aku merasa jadi perempuan yang tidak utuh,” ujarnya.
Perasaan itu diperparah oleh pandangan orang sekitar. Ia merasa kegiatannya dibatasi, bahkan dicap sebagai “orang sakit-sakitan.” Claudia sempat bingung menempatkan dirinya di masyarakat hingga pada satu titik ia lelah dengan semua stigma yang ada.
Dukungan yang Menguatkan
Dalam masa-masa sulit, dukungan dari keluarga dan pasangannya menjadi sumber kekuatan terbesar bagi Claudia. Sang kekasih, yang kini menjadi suaminya, selalu mendampinginya sejak awal pengobatan.
“Dia pernah bilang, ‘Aku percaya kamu bisa sembuh.’ Kalau dia aja percaya, masa aku nggak percaya sama diriku sendiri?” kata Claudia. Kalimat itu menjadi pengingat penting bagi Claudia untuk terus melangkah. Ia belajar bahwa cinta dan dukungan yang tulus dapat menjadi obat paling ampuh dalam proses penyembuhan.
Menemukan Jati Diri Lewat Dunia Kecantikan
Efek kemoterapi membuat Claudia kehilangan rambut dan mengalami perubahan fisik seperti moon face. Namun, hal kecil seperti menemukan wig yang cocok membantu memulihkan rasa percaya dirinya.
“Begitu aku pakai wig yang pas, teman-teman bilang kelihatan natural banget, kayak aku dulu. Dari situ, aku mulai menemukan jati diri lagi,” katanya. Kini, Claudia kembali menekuni profesinya sebagai makeup artist. Dunia kecantikan bukan hanya pekerjaan baginya, tapi juga bentuk terapi. Ia merasa bahagia bisa membuat orang lain tampil percaya diri, sekaligus menyembuhkan dirinya sendiri.
Membagikan Harapan untuk Sesama
Melalui media sosial, Claudia aktif berbagi cerita dan edukasi soal kanker payudara. Ia berharap kisahnya bisa menjadi semangat bagi perempuan lain yang sedang berjuang. Bagi Claudia, perjalanan ini bukan sekadar tentang melawan penyakit, tapi tentang menemukan kembali makna hidup.
“Jangan pernah nyerah. Kadang memang rasanya capek, tapi percaya deh, selama kita masih hidup, selalu ada harapan,” pesannya.



Posting Komentar