P4GXIpU6yeYF5fMCqPZCp42UuY5geVqMNRVk86R4

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Bookmark

Translate

Radio dalam Krisis, Peran Penting Penyiaran pada Peristiwa G30S/PKI 1965

Radio dalam Krisis, Peran Penting Penyiaran pada Peristiwa G30S/PKI 1965

Peran Radio dalam Sejarah Indonesia: Dari Kontrol Informasi hingga Ruang Partisipasi Publik

Radio telah menjadi salah satu medium komunikasi yang paling penting dalam sejarah Indonesia, terutama selama masa-masa kritis seperti peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Pada masa itu, radio tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga menjadi alat utama dalam memengaruhi opini publik dan membentuk persepsi masyarakat.

Dalam situasi politik yang penuh ketegangan, media penyiaran khususnya radio memiliki posisi unik karena kemampuannya menjangkau luas dan cepat. Di era tersebut, teknologi penyiaran masih terbatas, sehingga radio menjadi satu-satunya sumber informasi yang bisa diakses oleh masyarakat luas, termasuk di daerah pelosok. Dengan keterbatasan akses ke informasi, masyarakat sangat bergantung pada apa yang mereka dengar dari siaran resmi pemerintah atau stasiun radio yang dikuasai kelompok tertentu.

Peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 menjadi bukti betapa strategisnya penggunaan media penyiaran. Pihak yang menguasai stasiun radio mampu menyiarkan versi peristiwa sesuai kepentingannya, membentuk opini publik secara cepat, bahkan memicu kepanikan massal. Informasi yang terfragmentasi dan tidak seimbang membuat masyarakat sulit membedakan antara fakta dan manipulasi. Hal ini menunjukkan bahwa media tidak netral, melainkan bisa menjadi alat kontrol, pembentuk opini, dan senjata politik.

Di masa Orde Baru, pemerintah Soeharto menyadari potensi radio sebagai alat pengendali opini publik. Penyiaran radio diawasi ketat, dan RRI menjadi corong resmi pemerintah. Siaran-siaran "Penataran P4" dan narasi tunggal sejarah G30S/PKI disebarluaskan secara massif melalui radio untuk mengokohkan legitimasi rezim. Namun, di sisi lain, radio juga digunakan untuk mendukung program pembangunan seperti keluarga berencana, pendidikan masyarakat, dan penyuluhan ekonomi. Fungsi ganda ini mencerminkan peran strategis radio dalam mempertahankan stabilitas politik sekaligus mengarahkan opini publik.

Setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, reformasi politik membuka jalan bagi kebebasan pers dan penyiaran. Radio tak lagi dimonopoli negara, melainkan berkembang dalam format swasta, komunitas, dan publik. Kelahiran radio komunitas, talk show interaktif, serta siaran independen menunjukkan pergeseran fungsi radio dari corong kekuasaan menjadi medium partisipasi publik. Masyarakat kini memiliki akses lebih luas terhadap ragam informasi, termasuk revisi narasi sejarah seperti peristiwa 1965. Radio menjadi arena dialog dan kritik sosial, yang sebelumnya tabu.

Namun, di tengah kebebasan ini, radio juga menghadapi tantangan baru seperti persaingan dengan media digital, hoaks, dan penyebaran informasi tanpa verifikasi. Meskipun demikian, radio tetap memiliki daya tarik karena kecepatan dan kedekatannya dengan pendengar. Radio komunitas dan streaming digital membuktikan bahwa medium ini masih relevan dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

Dari tiga periode besar—G30S/PKI, Orde Baru, dan Orde Reformasi—terlihat bahwa radio adalah medium strategis yang fleksibel, dapat dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Pada masa krisis, radio menjadi penyebar informasi sekaligus alat pengendalian opini. Pada masa demokratisasi, radio menjadi ruang publik yang lebih bebas. Peran strategis ini tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk sesuai konteks zamannya.

Sejarah menunjukkan, siapa pun yang menguasai penyiaran radio pada masa krisis, dialah yang berpotensi menguasai narasi publik. Oleh karena itu, kebebasan dan keberagaman penyiaran harus dijaga agar peristiwa manipulasi informasi seperti pada masa G30S/PKI tidak terulang dalam bentuk baru.

0

Posting Komentar